Jan Koum, pendiri WhatsApp, lahir dan besar di pinggiran kota Kiev, Ukraina, dari keluarga yang relatif miskin. Saat usia 16 tahun, ia n...
Jan Koum, pendiri WhatsApp, lahir dan besar di pinggiran kota Kiev, Ukraina, dari keluarga yang relatif miskin. Saat usia 16 tahun, ia nekat pindah ke Amerika, demi mengejar apa yang kita kenal sebagai "American Dream".
Pada usia 17 tahun, ia hanya bisa makan dari jatah pemerintah. Ia nyari menjadi gelandangan! Tidur beratap langit, beralaskan tanah. Untuk bertahan hidup, ia bekerja sebagai tukang bersih-bersih supermarket. "Hidup begitu pahit.", Koum membatin.
Hidupnya kian terjal saat ibunya didiagnosa kanker. Mereka bertahan hidup hanya dengan tunjangan kesehatan seadanya. Koum hampir tidak lulus dari sebuah SMA di Mission Viejo, California. Lalu ia tersadar oleh pengalaman pahitnya. Iapun kuliah di San Jose University sambil bekerja sebagai penguji keamanan di Ernst & Young. Tapi kemudian ia memilih dropout dari universitas, karena ia lebih suka belajar programming secara autodidak.
Pada tahun 1997, Jan Koum diperkerjakan oleh Google sebagai teknisi infrastruktur. Ia pun bertemu dan berteman dengan Brian Acton saat bekerja di Ernst & Young. Karena keahliannya sebagai programmer, Jan Koum diterima bekerja sebagai engineer di Yahoo, dan bekerja di sana selama 10 tehun.
Setelah resign dari Yahoo, keduanya sempat melamar ke Facebook yang tengah memuncak popularitasnya saat itu, namun ditolak. Facebook mungkin kini sedang sangat menyesal pernah menolak tawaran mereka.
Pada bulan Januari 2009, Koum membeli iPhone dan menyadari App Store yang saat itu berusia tujuh bulan akan menggebrak industri aplikasi dunia. Ia mengunjungi temannya, Alex Fishman, dan keduanya berdiskusi selama beberapa jam seputar ide aplikasi Koum di rumah Alex. Pada hari ulang tahunnya tanggal 24 Februaru 2009, ia mendirikan WhatsApp Inc. di California.
Setelah WhatsApp resmi dibeli Facebook dengan harga 19 miliar dolar AS atau sekitar Rp224 triliun, Jan Koum melakukan ritual yang mengharukan. Ia datang ke tempat dimana ia dulu saat umur 17 tahun, setiap pagi antre untuk mendapatkan jatah makanan dari pemerintah. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding tempat ia dulu antre. Mengenang saat-saat sulit, dimana bahkan untuk makan saja ia tak punya yang. Pelan-pelan, air matanya meleleh. Ia tidak pernah menyangka perusahaannya akan dibeli dengan nilai setinggi itu.
Ia lalu mengenang ibunya yang sudah meninggal karena kanker. Ibunya yang rela menjahit buat dia demi menghemat pengeluaran. "Tak ada uang nak...". Jan Koum tercenung. Ia menyesal tak pernah bisa mengabarkan kabar gembira ini pada ibunya.
-
Referensi :
Tjahjono, Feri.2014. Dimana Ada Kemauan Disana Ada Kemudahan. Yogyakarta: Istana Media
COMMENTS